http://www.mudrajad.com/upload/UKM%20dan%20Orientasi%20Ekspor.pdf
UKM dan Orientasi Ekspor Oleh: Mudrajad Kuncoro* Senin, 11/02/2008 Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/periskop/ukm-dan-orientasiekspor.html Cetak biru ASEAN Economic Community 2015 memuat ambisi pembentukan ASEAN sebagai pusat perdagangan kawasan yang terintegrasi. Dengan target mulai 2008 dan implementasi penuh pada 2015, masalahnya, bagaimana kesiapan pelaku bisnis Indonesia, yang mayoritas usaha kecil dan menengah (UKM)? Berapa banyak UKM yang sudah proaktif menggarap pasar ekspor? Apa saja tantangan utama yang dihadapi UKM kita? Boleh dikatakan, UKM merupakan soko guru perekonomian Indonesia. Selama 1997–2006, jumlah perusahaan dengan skala UKM mencapai sekitar 99% dari keseluruhan jumlah unit usaha di Indonesia. Sumbangan UKM terhadap produk domestik bruto mencapai 54–57%. Sumbangan UKM terhadap penyerapan tenaga kerja mencapai sekitar 96%. Bagaimana peran UKM dalam konfigurasi ekspor nasional? Pascakrisis,kontribusi ekspor UKM untuk seluruh sektor memang hanya sekitar 19–21%. Dengan kata lain, justru usaha skala besar yang memainkan peranan penting dalamekspor.MayoritasUKM cenderung menggarap pasar domestik dan menggunakan input lokal. Boleh dikatakan, UKM yang berorientasi ekspor masih minimal. Sekitar 91% UKM melakukan kegiatan ekspornya melalui pihak ketiga eksportir/pedagang perantara. Hanya 8,8% yang berhubungan langsung dengan pembeli/importir di luar negeri. Apa tantangan yang dihadapi UKM Indonesia? Tantangan UKM meliputi: Pertama, tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi. Kebanyakan UKM dikelola perorangan yang merangkap sebagai pemilik sekaligus pengelola perusahaan, serta memanfaatkan tenaga kerja dari keluarga dan kerabat dekatnya. Kedua, rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga- lembaga kredit formal sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara, bahkan rentenir. Ketiga,sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dimilikinya status badan hukum.Mayoritas UKM merupakan perusahaan perorangan yang tidak berakta notaris, 4,7% tergolong perusahaan perorangan berakta notaris,dan hanya 1,7% yang sudah mempunyai badan hukum (PT/NV, CV, firma, atau koperasi). Keempat, tren nilai ekspor menunjukkan betapa sangat berfluktuasi dan berubahubahnya komoditas ekspor Indonesia selama periode 1999– 2006.Penyebabnya adalah eksportir masih menunggu order dari pembeli/pelanggan dari luar negeri, faktor musim di negara mitra dagang ikut berpengaruh,dan belum stabilnya bisnis UKM yang berorientasi ekspor. Kelima, masalah terbesar yang dihadapi dalam pengadaan bahan baku adalah mahalnya harga bahan baku, terbatasnya ketersediaan bahan baku, dan jarak yang relatif jauh. Penyebabnya, bahan baku bagi UKM yang berorientasi ekspor sebagian besar berasal dari luar daerah UKM berlokasi. Keenam, masalah utama yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja adalah tidak terampilnya tenaga kerja dan mahalnya biaya tenaga kerja. Regenerasi perajin dan pekerja terampil relatif lambat. Akibatnya, banyak sentra ekspor mengalami kelangkaan tenaga terampil untuk sektor tertentu. Ketujuh,dalam bidang pemasaran, masalah pemasaran terkait dengan banyaknya pesaing yang bergerak dalam industri yang sama, relatif minimnya kemampuan bahasa asing sebagai suatu hambatan dalam melakukan negosiasi dan penetrasi pasar di luar negeri. Dalam konteks inilah, setidaknya ada dua langkah strategi yang bisa diusulkan,yaitu demand pull strategydan supply push strategy. Demand pull strategy mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan dengan perbaikan iklim bisnis,fasilitas mendapatkan HaKI (paten), fasilitas pemasaran domestik atau luar negeri, serta menyediakan peluang pasar. Dalam pembahasan RUU UMKM dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia di DPR, saya mengusulkan urgensi pembentukan Indonesia Trading House (ITH) yang diilhami kisah sukses trading house di Jepang (Sogo Shosha), Latin Amerika (Comercializadoras), Prancis (Opérateur Spécialisé en Commerce Extérieur), dan India (Export Houses). ITH seperti umumnya "rumah dagang"adalah commercial intermediaries yang menspesialisasikan diri pada pengembangan perdagangan jasa dan produk, yang dipasok pihak lain. Fokus ITH adalah pada ekspor, impor, perdagangan dengan negara lain sebagai aktivitas utama, penggunaan organisasi pemasaran, infrastruktur, dan jaringan pengadaan bahan baku untuk melayani pemasok dan pelanggan. Urgensi pembentukan ITH karena faktanya, para eksportir menyatakan bahwa hal yang paling penting dilakukan agar ekspor dapat meningkat adalah adanya peran ITH dalam memfasilitasi pertemuan dengan pembeli asing. Hal ini sepertinya sejalan dengan masalah yang dihadapi dalam memasarkan produk ke luar negeri, yaitu minimnya kemampuan dalam menguasai bahasa asing sehingga mengganggu proses negosiasi. Dengan hadirnya ITH sebagai mediator, tentunya proses negosiasi diharapkan dapat berjalan lebih baik. Selain itu, yang dirasakan eksportir dapat meningkatkan ekspor adalah usaha untuk memperpendek dan memudahkan aturan administrasi ekspor. Kondisi ini kemudian didukung dengan upaya untuk meningkatkan pengetahuan tentang tata cara ekspor yang dapat dilakukan melalui pendidikan dan lokakarya singkat. ITH dapat diarahkan untuk memfasilitasi hal ini. Langkah strategi lainnya adalah supply push strategy mencakup strategi pendorong sisi penawaran, yang bisa dilakukan dengan ketersediaan bahan baku, dukungan permodalan, bantuan teknologi/mesin/alat,serta peningkatan kemampuan SDM. Harus diakui,telah cukup banyak upaya pembinaan dan pemberdayaan UKM yang dilakukan lembaga-lembaga dan departemen yang concern dengan pengembangan UKM. Hanya, upaya pembinaan UKM sering tumpang tindih dan dilakukan sendirisendiri. Perbedaan persepsi mengenai UKM menyebabkan pembinaan usaha kecil masih terkotak-kotak atau sector oriented, di mana masingmasing instansi pembina menekankan pada sektor atau bidang binaannya sendirisendiri. Akibatnya, terjadilah dua hal: (1) ketidakefektifan arah pembinaan; (2) tiadanya indikator keberhasilan yang seragam, karena masing-masing instansi pembina berupaya mengejar target dan sasaran sesuai dengan kriteria yang telah mereka tetapkan sendiri. Karena egoisme sektoral/departemen, dalam praktik sering dijumpai terjadinya "persaingan" antarorganisasi pembina. Bagi pengusaha UKM pun, mereka sering mengeluh karena hanya selalu dijadikan "objek" binaan tanpa ada tindak lanjut atau pemecahan masalah mereka secara langsung. Harapan pelaku UKM adalah agar masalah dan tantangan yang mereka hadapi dapat dibantu pemerintah dan Kadin. Semoga UKM tidak hanya menjadi "komoditi politik"yang hanya nyaring digaungkan saat kampanye pemilu dan pilkada, tetapi dilupakan setelah "kursi jabatan" dipegang.(*) *Ketua Jurusan Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
| ||||||
|
|
Daya saing UKM di pasar bebas dinilai lemah
Oleh Fajar Sidik
http://www.bisnis.com/ekonomi/mikro-ukm/1939-daya-saing-ukm-di-pasar-bebas-dinilai-lemah
Published On: 15 December 2010
JAKARTA : Pemerintah diminta untuk memberikan berbagai insentif ekonomi bagi usaha mikro kecil dan menengah agar memiliki daya saing ebih baik terhadap produsen luar negeri terutama menghadapi perdagangan bebas. Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto mengatakan tuntutan untuk peningkatan daya saing terhadap sektor usaha khususnya UKM harus dilakukan dengan menciptakan kondisi dan lingkungan bisnis yang kondusif. Tanggungjawab pemerintah menciptakan lingkungan bisnis yang bersaing bagi UMKM sehingga bisa mensejajarkan posisi pelaku usaha domestik dengan pemain luar negeri baik dari efisiensi produks, terutama kebijakan yang memudahkan dan pemberian insentif. "Kita harus bisa melihat bagaimana pesaing bisa memproduksi dengan harga murah, dan harus berani mengakui ada kelemahan di dalam negeri. Paling dominan justru ada di ranah pemerintah untuk bisa menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif, misalnya biaya logistik yang lebih murah," ujarnya seusai membuka Dialog Bisnis Akhir Tahun 2010 HKI di Jakarta hari ini. Menurut Suryo, Kadin sebagai wadah terbesar dunia usaha berkomitmen mendukung pemerintah dalam upaya menciptakan lingkungan bisnis yang berdaya saing itu terutama dengan memberikan insentif pajak, memurahkan biaya logistik, biaya energi dan kemudahan dalam pengurusan dokumen perizinan usaha. Semua itu, harus dikejasamakan antara pemerintah dan dunia usaha agar sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha pada saat ini dan ke depan. "Intinya daya saing itu harus diciptakan oleh pemerintah dengan menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif mulai dari perbaikan sisi kebijakan, insentif pajak dan berbagai biaya ekonomi serta kemudahan dalam perizinan." (ra)
http://didikachmadi.blogspot.com/2010/01/pengembangan-usaha-kecil-dan-menengah.html PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM MENGHADAPI PASAR REGIONAL DAN GLOBAL
Sekilas Mengenai Kondisi Perekonomian dan Pentingnya UKM Prospek ekonomi dunia diprakirakan membaik pada tahun 2004 dan selanjutnya melambat pada tahun 2005-2006. Di lain pihak prospek ekonomi Indonesia tahun 2004-2006 diprakirakan terus membaik, ditandai oleh pertumbuhan ekonomi yang meningkat secara bertahap hingga sekitar 6 % pada tahun 2006. Kemudian dilihat dari kontribusi sektoral, maka sektor industri, sektor perdagangan dan sector pertanian diprakirakan menjadi sektor utama pertumbuhan PDB tahun 2004-2006 (Miranda S.Goeltom, 2004). Walaupun terdapat kecenderungan perbaikan perekonomian Indonesia di masa mendatang sebagai dampak dari kondisi ekonomi global, regional dan adanya perbaikan sarana dan prasarana yang dapat menunjang kegiatan ekonomi domestik, tampaknya perlu diwaspadai kemungkinan adanya beberapa isu kritis yang sering menghambat pertumbuhan ekonomi suatu negara, diantaranya adalah: (1) Tingginya pengangguran, (2) rendahnya investasi, dan (3) biaya ekonomi tinggi. Isu tingginya penganguran dan ekonomi biaya tinggi merupakan isu lama dan klasik yang selama ini belum dapat diatasi dengan baik. Kemudian isu rendahnya investasi merupakan produk dari kekurang percayaan investor terhadap kondisi perekonomian Indonesia, termasuk di dalamnya masalah politik dan keamanan. Kemungkinan isu kritis tersebut berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi Indonesia ke depan. Oleh karena itu, harus cepat direspon oleh semua pihak, terutama pihak pemerintah khususnya dalam menen-tukan kebijakan pengembangan ekonomi nasional pada tahun 2005-2009. Pengalaman Indonesia selama tiga puluh tahun kebelakang terutama pada tujuh tahun terakhir, memberikan informasi dan sekaligus pelajaran berharga bagi kita, bahwa pada masa lalu runtuhnya perekonomian Indonesia ternyata sebagai akibat dari kekurangmampuan pengambil keputusan di pemerintahan Indonesia saat itu dalam merespon berbagai isu kritis , seperti telah disebutkan di atas. Pada saat itu perekonomian Indonesia hanya bertumpu pada beberapa usaha skala besar (konglomerat). Oleh karena itu, respon yang cepat dan tepat terutama oleh pihak pemerintah terhadap isu kritis yang selalu menghantui kegiatan perekonomian tersebut, akan sangat bermanfaat bagi kemungkinan ketahanan dan sekaligus keamanan perekonomian Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, kebijakan pemerintah untuk memberikan kesempatan yang sama kepada kegiatan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk dapat maju dan berkembang sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi ketahanan dan keamanan perekonomian Indonesia di masa mendatang. Ini artinya bahwa UKM harus dapat tumbuh dengan baik, sehingga masalah mengenai pengangguran, rendahnya minat investasi dan ekonomi biaya tinggi dapat berkurang secara nyata. Manggara Tambunan (2004) menyebutkan bahwa setelah krisis ekonomi berjalan selama tuijuh tahun, salah satu pelajaran berharga yang dapat diambil adalah bahwa : (1) ekonomi Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan peranan usaha besar, (2) Usaha kecil menengah (UKM) memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan usaha besar karena UKM lebih efisien dan (3) hingga sekarang belum ada kejelasan kebijakan industri dan bagaimana yang diadopsi agar lebih mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja bagi pengangguran dan kemiskinan.
Analisis Usaha Kecil Menengah
Masalah ekonomi biaya tinggi hanya dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik, apabila keberadaan pemerintahan yang bersih dan jujur dan bertanggung jawab (good governance) diupayakan secara sunguh-sungguh dan berkesinambungan. Apabila ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka akan berdampak secara langsung terhadap penurunan terhadap ekonomi biaya tinggi, baik yang terjadi di pemerintahan maupun yang dilakukan oleh para pengusaha, termasuk pengusaha dengan skala kecil dan menengah. Paling tidak biaya untuk perijinan, restribusi dan pajak serta sejenisnya dapat mengurangi beban para pengusaha kecil dan menengah. Kemudian masalah masih tingginya pengangguran, dapat dikurangi secara nyata apabila kemudahan bagi pengembangan UKM nyata-nyata terlaksana dengan baik. Semakin banyak jumlah UKM serta semakin berkualitas dan berkembang UKM, maka akan berpeluang untuk menyerap lebih banyak tenaga kerja. Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan bahwa jumlah UKM tercatat 42,3 juta atau 99,90 % dari total jumlah unit usaha.UKM menyerap tenaga kerja sebanyak 79 juta atau 99,40 % dari total angkatan kerja.Kontribusi UKM dalam pembentukan PDB sebesar 56,70 %. Kemudian sumbangan UKM terhadap penerimaan devisa negara melalui kegiatan ekspor sebesar Rp 75,80 triliun atau 19,90 % dari total nilai ekspor. Dengan berbagai spefikasinya, terutama modalnya yang kecil sampai tidak terlalu besar, dapat merubah produk dalam waktu yang tidak terlalu lama dan manajemennya yang relatif sederhana serta jumlahnya yang banyak dan tersebar di wilayah nusantara, menyebabkan UKM memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap berbagai gejolak ekonomi. Berbagai permasalahan mikro yang terdapat pada kebanyakan UKM, dapat menghambat UKM untuk dapat berkembang dengan baik, terutama dalam mengoptimalkan peluang yang ada. Kondisi tersebut memberikan isyarat bahwa UKM sepantasnya diberikan bantuan sesuai dengan kebutuhannya. Sehubungan dengan permasalahan secara umum yang dialami oleh UKM, Badan Pusat Statistik (2003) mengidentifikasikan sebagai berikut: (1) Kurang permodalan (2) Kesulitan dalam pemasaran (3) Persaingan usaha ketat (4) Kesulitan bahan baku (5) kurang teknis produksi dan keahlian (6) keterampilan manajerial kurang (7) kurang pengetahuan manajemen keuangan (8) iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan, aturan/perundangan) Bagi keperluan pengembangan usaha UKM di masa mendatang, diperlukan adanya bantuan layanan bisnis dari lembaga swasta, lembaga pemerintah dan individu sesuai dengan kekurangan masing-masing UKM. Hasil penelitian kerjasama Kementerian KUKM dengan BPS (2003) menginformasikan bahwa jenis layanan yang paling banyak diharapkan dari lembaga pelayanan bisnis (LPB) atau business development services provider (BDSP) adalah: fasilitasi permodalan (84,79 %, fasilitasi perluasan pemasaran (79,64 %), fasilitasi jasa informasi (76,03 %), fasilitasi pengembangan desain produk, organisasi dan manajemen (58,51 %), fasilitasi penyusunan proposal pengembangan usaha (55,93 %), fasilitasi pengembangan teknologi (54,38 %). Hasil penelitian tersebut lebih lanjut mengemukakan bahwa UKM yang mengalami kesulitan usaha 72,47% sisanya 27,53 % tidak ada masalah Dari 72,47 % yang mengalami kesulitan usaha tersebut, terutama meliputi kesulitan : (1) Permodalan (51,09 %), (2) Pemasaran (34,72 %), (3) Bahan baku (8,59 %), (4) Ketenagakerjaan (1,09 %), (5) Distribusi transportasi (0,22%), dan (6) Lainnya (3,93 %) Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam mengatasi kesulitan permodalannya diketahui sebanyak 17,50 % UKM menambah modalnya dengan meminjam ke bank, sisanya 82,50 % tidak melakukan pinjaman ke bank tetapi ke lembaga Non bank seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga, modal ventura, lainnya. Alasan utama yang dikemukakan oleh UKM kenapa mereka tidak meminjam ke bank adalah: (1) prosedur sulit (30,30 %), (2) Tidak berminat (25,34 %), (3) Tidak punya agunan (19,28 %), (4) Tidak tahu prosedur (14,33 %), (5) Suku bunga tinggi (8,82 %), dan (6) Proposal ditolak (1,93 %). Penelitian yang dilakukan Gofur Ahmad (2004) terhadap UKM yang berusaha di bidang pengrajin garmen yang berlokasi di Sentra Warung Buncit, diantaranya menyebutkan bahwa saat ini yang paling dibutuhkan oleh pengrajin adalah adanya bantuan modal berupa kredit lunak, agar mereka dapat mengembangkan usaha mereka di bidang garmen. Hal ini dapat dilihat dari 82,30 % pengrajin merasa tidak memiliki cukup modal untuk mengembangkan usahanya. Sementara untuk menanggulangi kekurangan modal tersebut, mereka mengatakan tidak tahu secara persis kepada siapa atau lembaga mana mereka harus mencari bantuan modalnya. Di satu sisi UKM pada umumnya sangat memerlukan bantuan permodalan bagi pengembangan usahanya, tetapi di lain sisi perbankan dan mungkin juga perorangan masih kelebihan dana. Walaupun secara makro penyaluran kredit bagi UKM terus meningkat dalam lima tahun terakhir ini, ternyata peningkatan terbesar masih berada pada kredit konsumsi. Peningkatan kredit perbankan untuk UKM khususnya bagi keperluan tambahan modal kerja dan investasi masih jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kredit konsumsi. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 1. Tabel 1. Perkembangan Kredit UMKM Berdasarkan Jenis Penggunaan (dalam Milyar Rp)
Sumber: Bank Indonesia di dalam Maulana Ibrahim (2004)
Atas dasar kondisi tersebut, tampaknya sangat mutlak diperlukan adanya bantuan bagi UKM, yaitu: (1) layanan untuk dapat akses ke lembaga keuangan, dan (2) tersedianya lembaga jaminan kredit yang permanen bagi UKM. Maulana Ibrahim (2004) mengemukakan bahwa berdasarkan data business plan 13 bank umum yang menguasai sekitar 80 % total asset perbankan nasional termasuk BPR diketahui bahwa porsi penyaluran dana bagi UMKM dari kalangan perbankan direncanakan atau ditargetkan sebesar Rp 38,50 triliun. Sampai dengan akhir bulan juni 2004 sudah terealisasi sebesar Rp 30, 90 triliun atau 80,40 %. Apabila dibandingkan dengan tahun 2003, realisasi penyaluran kredit bagi UKM tahun 2004 tersebut meningkat dari Rp 27 triliun menjadi Rp 30,90 triliun, namun demikian targetnya menurun dari Rp 42,30 Triliun menjadi Rp 38,50 triliun. Perlu diketahui pula bahwa posisi Juni 2004 Non Performing Loans (NPLs) kredit UMKM sebesar 4,40 % , kondisi ini ternyata lebih kecil dari NPLs total kredit perbankan sebesar 6,20 %. Masalah pemasaran yang terjadi pada rata-rata UKM terutama dengan skala kecil sesuai dengan penelitian Anonimous (2003) adalah sebagai akibat dari banyak faktor, yaitu: (1) Banyak pesaing (53,77 %), (2) Harga jual rendah (27,40 %), (3) Pasar jenuh (6,51 %), (4) Informasi kurang memadai (4,45 %), dan (5) Lainnya (7,88 %). Masalah lainnya yang juga berpengaruh terhadap pengembangan usaha UKMK adalah kesulitan bahan baku. Kesulitan mendapatkan bahan baku tersebut, secara rinci sebagai dampak dari: (1) Harganya mahal (51,30 %), (2) Langka (31,82 %), (3) kualitas kurang baik (9,74 %), dan (4) Lainnya (7,14 %). Atas dasar kondisi seperti dikemukakan terdahulu, dapat disebutkan bahwa secara umum permasalahan utama yang dialami oleh UKM ada tiga hal, yaitu: (1) Kurang permodalan (modal kerja dan Investasi), (2) Pasar yang sangat bersaing (produsen banyak dan harga jual yang sama atau mendekati harga pokok produksi, dan (3) Sulit mendapatkan bahan baku (harganya tinggi dan sulit didapat). Kondisi tersebut akan sangat menyulitkan UKM untuk dapat berkembang dengan baik. Oleh karena itu, agar usaha UKM dapat berkembang dengan baik diperlukan adanya bantuan bimbingan atau layanan bisnis yang jenisnya disesuaikan dengan masalah yang dihadapi oleh setiap kelompok UKM yang mengusahakan produk sejenis, sehingga UKM dapat mengakses ke sumber pembiayaan, pemasaran (pasar output) dan sumber bahan baku (pasar input). Ini artinya bahwa dalam mengembangkan UKM untuk lima tahun ke depan diperlukan adanya strategi yang paradigmanya berubah dari strategi yang mungkin pernah dilakukan di masa yang lalu. Salah satu dasar strategi tersebut adalah menggunakan pendekatan kluster. Pendekatan klaster tampaknya merupakan pilihan yang bijaksana bagi pengembangan UKM di masa mendatang.
Pendekatan Kluster
Pendekatan kluster tampaknya merupakan pendekatan yang sistematik dalam upaya mengembangkan UKM. Pendekatan kluster ini tidak mudah dilakukan, karena memerlukan berbagai persyaratan, namun demikian pendekatan ini dapat dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan serta konsisten. Konsekuensi logis dari pendekatan ini adalah bahwa komoditi yang diusahakan benar-benar terpilih, paling tidak punya keunggulan komparatif, orang-orang yang ada di dalamnya mempunyai kesadaran dan kemauan yang cukup tinggi termasuk di dalamnya akhlak yang baik, perlu adanya aglomerasi dan kaitan hulu-hilir, sarana dan prasarana pendukung yang memadai. C. Richard Hatch di dalam Anonimous (2003) mengusulkan pengembangan jejaring UKM dengan pendekatan klaster, meliputi: 1) mengembangkan kriteria untuk menyeleksi partner (pasangan) yang memiliki pengalaman dan pengetahuan lokal yang memadai 2) mengkaji system bisnis dan operasi secara internal setiap pelaku bisnis yang akan dikembangkan 3) mengembangkan kurikulum dan materi pelatihan bagi UKM, broker/ pialang bisnis atau konsultan BDS Providers dan dikomunikasikan lewat berbagai media termasuk internet 4) merancang skim subsidi yang efisien yang dapat mencegah terjadinya distorsi untuk menutupi biaya awal bagi pialang jejaring bisnis 5) menyediakan bantuan teknis bagi setiap UKM yang bekerjasama 6) merancang dan melakukan evaluasi secara seksama setiap upaya pengembangan jejaring bisnis melalui klaster UKM 7) memberikan perhatian dari berbagai usulan kajian yang dilakukan oleh staf, pihak-pihak yang bekerjasama, pialang bisnis termasuk BDS provider dalam penyempurnaan setiap konsep yang akan dikembangkan dalam pengembangan klaster UKM. Sehubungan dengan masalah pendekatan kluster, Suhendar Sulaeman dan Eriyatno (2002) mengemukakan bahwa: pada tingkat yang cukup luas (meso) berbagai kebijakan yang menyangkut BDS akan dapat menjadi suatu hal yang penting bagi terciptanya suatu cluster dan network yang kompetitif.Kebijakan pengembangan/ peningkatan infrastruktur, kualitas SDM dan penguasaan teknologi, merupakan suatu perangkat penting dalam mendinamisasikan dan mengembangkan klaster (cluster) dan jejaring (networing) UKM. Kemudian UNTCTAD di dalam Suhendar S dan Eriyatno (2002) menyebutkan bahwa dalam praktek, upaya pengembangan UKM melalui klaster perlu inisiatif/upaya sebagai berikut: 1) terciptanya BDS, 2) adanya lingkungan industri, pusat ilmu pengetahuan dan teknologi, inkubator, infrastruktur dasar, 3) mengupayakan adanya sekolah-sekolah teknik, 4) terciptanya program jejaring industri, dan 5) terciptanya jejaring informasi. Klaster dapat dikembangkan dari yang sebelumnya sudah ada semacam sentra, misalnya sentra produksi komoditi tertentu, atau ditumbuhkan dari kondisi tidak terdapat sentra tetapi punya potensi cukup baik. Khusus klaster yang dikembangkan dari sentra, telah ditentukan kriterianya. Kriteria sentra yang dapat difasilitasi untuk ditumbuhkembangkan menjadi klaster sesuai dengan Kepmen Koperasi dan UKM No. 32/Kep/ M.KUKM/IV/2003 ditetapkan adalah: 1) terdapat sejumlah UKM, dengan kapasitas produksi yang memadai dalam kawasan sentra yang memiliki prospek untuk berkembang menjadi klaster UKM dengan market share yang layak 2) mempunyai omset penjualan minimal mencapai Rp 200 juta/bulan 3) mempunyai prospek pasar yang berkelanjutan 4) mempunyai jaringan kemitraan dalam pengadaan bahan baku maupun pemasaran 5) mampu menyerap tenaga kerja minimal 40 orang dalam sentra 6) mengutamakan bahan baku local 7) menggunakan tekonologi yang berpotensi meningkatkan mutu produk 8) tersedianya sarana dan prasarana pendukung. Kemudian lebih lanjut disebutkan bahwa sentra yang sesuai dengan criteria kepmen tersebut, oleh pemerintah melalui Kementerian UKM akan diiberi dukungan perkuatan: Modal awal padanan (MAP), Busines Development Services (BDS), dan pelatihan-pelatihan. Pendekatan kluster idealnya akan dapat memecahkan sebagian besar masalah yang ada dalam pengembangan usaha UKM. Pendekatan sentra secara operasional dapat diidentikkan dengan pendekatan kebersamaan ekonomi. Sejatinya bahwa hasil akhir dari pendekatan kluster ini diharapkan dapat menghasilkan produk oleh produsen yang ada di dalam kluster bisnis ini, diharapkan mempunyai peluang untuk menjadi produk yang mempunyai keunggulan kompetitif, sehingga dapat bersaing di pasar regional dan global.
Strategi Pengembangan UKM
Strategi yang diterapkan dalam upaya mengembangkan UKM di masa depan terlebih dalam menghadapi pasar bebas di tingkat regional dan global, sebaiknya memperhatikan kekuatan dan tantangan yang ada, serta mengacu pada beberapa hal sebagai berikut: (1) Menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menyediakan lingkungan yang mampu mendorong pengembangan UKM secara sistemik, mandiri dan Berkelanjutan (2) Mempermudah perijinan, pajak dan restribusi lainnya, (3) Mempermudah akses pada bahan baku, teknologi dan informasi (4) Menyediakan bantuan teknis (pelatihan, penelitian) dan pendampingan dan manajemen (SDM,keuangan dan pemasaran) melalui BDSP. (5) Secara rutin BDSP melakukan pertemuan, lokakarya model pelayanan bisnis yang baik dan tepat (6) Mendorong BDSP untuk masingmasing memiliki keahlian khusus (spesialis), seperti: di bidang Pengembangan SDM, Keuangan, Pemasaran. Ini terutama diperlukan bagi upaya pelayanan kepada usaha menengah yang pasarnya regional dan global (7) Menciptakan sistem penjaminan kredit (financial guarantee system) yang terutama disponsori oleh pemerintah pusat dan daerah (8) Secara bertahap dan berkelanjutan mentransformasi sentra bisnis (parsial) menjadi kluster bisnis (sistemik).
Kesimpulan
Pengembangan UKM berarti disamping meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan usaha UKM tersebut, juga dapat dijadikan andalan dalam meningkatkan Pembangunan perekonomian Indonesia. UKM yang dapat diandalkan untuk bersaing di pasar regional dan global, adalah UKM yang mengusahakan produk mem-punyaii keunggulan komparatif dan atau keunggulan kompetitif. Klaster bisnis merupakan pengembangan usaha UKM secara secara sistemik, sehingga UKM yang ada di dalamnya mem-punyai peluang untuk menjadi usaha yang handal dan kompetitif. Menetapkan UKM sebagai motor pengerak pembangunan ekonomi nasional di masa mendatang merupakan pilihan yang sangat tepat dan bijaksana, namun harus dilengkapi dengan strategi pengembangan yang tepat.
« Kadin: 99% (51,26 Juta) dari Total Unit Usaha adalah UMKM Kadin: UMKM Sumbang 53% PDB 2009 » https://jurnalukm.wordpress.com/2010/09/11/menko-hatta-tidak-bangga-ri-punya-51-juta-umkm/ Menko Hatta Tidak Bangga RI Punya 51 Juta UMKMSeptember 11, 2010 by jurnalukm Mengapa dengan angka unit UMKM besar tetapi bangsa Indonesia belum bisa bersaing? Jumat, 3/9/2010: Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, mengaku tidak bangga memiliki UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) sebanyak 51,3 juta. Pasalnya, meski jumlah unit usaha sebanyak itu Indonesia belum masuk kategori negara maju. "Ini perlu dikritisi mengapa dengan 51,3 juta unit usaha, negara kita belum baik," ujar Hatta saat membuka Rakornas Kadin Indonesia bidang UMKM dan Koperasi di Jakarta Convention Center, Jumat, 3 September 2010. Karena secara teori, negara maju dan kuat ekonominya apabila masyarakatnya lebih dari 4 persen adalah entrepreneur. "Rasanya kita sudah lebih dari 4 persen, lalu kenapa belum? Kesalahan ada di mana, apa mereka ini buka entrepreneur," ujar Hatta melontarkan pertanyaan. Alasan itulah yang membuat pemerintah belum senang dengan adanya 51,3 juta unit UMKM. "Secara statistik angkanya OK, tapi itu tidak membuat kita senang," ujarnya. "Apa kita happy? Belum," ujar dia. Hatta bertanya mengapa dengan angka unit UMKM sebesar itu dan ekonomi tumbuh besar, tetapi bangsa Indonesia tetap belum bisa bersaing? Hatta berteori bahwa ada yang salah dalam sistem usaha dan pemerintahan yang sedang berjalan. Meski belum dijawab penuh, dugaan sementara ada bagian kosong di tengahnya entah dalam kebijakan atau dukungan pengusaha untuk membuat negara ini maju. Untuk itu, ia menekankan adanya kolaborasi antara kedua belah pihak, antara pengusaha dan pemerintah guna lebih baik. "Kami terus mendorong pengusaha baru dan harus ada keberpihakan. Kalau dulu sifatnya person to person, sekarang lebih ke kebijakan. Jadi kebijakan itu bisa jalan atau tidak, itulah yang dinilai," katanya. Menurut Hatta, harusnya dengan 51,3 juta UMKM, setidaknya ada 90 juta lapangan kerja atau hampir setengah penduduk Indonesia sudah dalam kondisi baik. Namun, dia mengakui kuatnya kondisi ekonomi lantaran ditopang oleh UMKM. Ini bisa dilihat pada saat krisis lalu. "Di mana ekonomi dunia sedang kontraksi dan ekspor kita minus 13 persen, tapi secara nasional ekonomi kita masih ditopang oleh UMKM," ujarnya. Sumber: Vivanews, Smecda.
« BCA Turunkan Nett Interest Margin (NIM) Kadin: 99% (51,26 Juta) dari Total Unit Usaha adalah UMKM » Rp80T Anggaran Pemberdayaan UMKM Belum TerserapSeptember 11, 2010 by jurnalukm Uang tersebut tidak terpetakan dengan baik karena tidak terdapat sistem yang memantau efektivitas penggunaannya. -Kadin Indonesia Jumat, 03/09/2010: Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia mencatat sekitar Rp 80 triliun dana pemberdayaan UMKM yang tersebar di 21 kementerian belum terserap efektif. Kesannya tumpang tindih sehingga tidak fokus digunakan untuk pemberdayaan UMKM. Uang tersebut tidak terpetakan dengan baik karena tidak terdapat sistem yang memantau efektivitas penggunaannya. "Ini memang masalah klasik, adanya tumpah tindih, karena birokrasi masih kompleks. Untuk itu harus ada yang fokus dan bertanggung jawab mengelola anggaran," ujarnya Wakil Ketua Kadin Indonesia Bidang UMKM dan Koperasi, Sandiaga Uno, dalam sambutan pada acara Rapat Koordinasi Nasional UMKM yang diselenggarakan Kadin Indonesia, di Jakarta Convention Center (JCC), Jumat (3/9). "Ada kesan tiap kementerian hanya mengurusi bidangnya saja, tidak spesifik pembiayaan bagaimana bidang pemasaran, manajemen. Semuanya dilimpahkan pada Kementerian Koperasi dan UKM saja," jelasnya. Ia menyatakan, anggaran tersebut adalah Rp 71 triliun dana pemberdayaan UMKM dalam APBN, sedangkan sisanya berasal dari program tanggung jawab sosial Kadin Indonesia. Berdasarkan hasil survei, lanjut Sandi, 1 dari 5 pengusaha menyatakan kebijakan pemerintah sudah tepat sasaran, sedangkan selebihnya menyatakan belum tersentuh kebijakan pemerintah. Untuk itu, lanjut Sandi, Kadin Indonesia mengusulkan pembentukan Dewan Nasional UMKM yang diketuai langsung oleh Presiden SBY untuk memetakan seluruh potensi UMKM yang ada di seluruh Indonesia. "Kadin mengusulkan terbentuknya Dewan UMKM. Dewan nasional yang mungkin ketuanya presiden," jelasnya. Keberadaan presiden sebagai ketua harian dalam dewan tersebut, lanjut Sandiaga, akan lebih mempunyai pengaruh kuat ketimbang menteri. Terlebih masing-masing kementrian mempunyai program-program UMKM masing-masing. "Karena kalau level menteri nggak akan jalan programnya," ujarnya. Kadin juga berharap, pemerintah bukan hanya memberi dukungan dalam bentuk pembiayaan (insentif), tetapi juga memberi kemudahan dalam birokrasi. Sumber: detikFinance, Antara, Surabaya Post, Smecda.
Kemampuan internal perusahaan untuk menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing serta mampu melihat pasar potensial (Ina P, 2006) adalah salah satu dari permasalahan daya saing industri dalam negeri baik kecil dan menengah. Indonesia harus terus meningkatkan peringkat daya saingnya di dunia, Indonesia mencatat perbaikan peringkat di tahun 2010 ini dengan menduduki peringkat 44 dari peringkat 54 tahun 2009 (sumber The Global Competitiveness). Daya saing menurut World Economic Forum adalah
12 pilar daya saing dari World Economic Forum adalah Institution, Infrastructure, Macroeconomics environment, Health dan Primary Education, Good Market Efficiency, Labor Market Efficiency, Financial Market Development, Technological Readiness, Market Size, Business Shopistication, Innovation.
|
No comments:
Post a Comment